Panas! Gerah! Itulah umumnya apa yang masyarakat Jakarta akhir-akhir ini. Fenomena ‘gerah’ ini tidak hanya dialami oleh Jakarta, bahkan Indonesia saja. Menilik bagaimana kita menggunakan sumber daya di dunia ini, rasanya tidak heran jika bumi mulai demam. Kita mengeruk hasil bumi dengan tamak. Sisanya? Dibiarkan menjadi liang gua yang tidak bisa ditinggali makhluk hidup. Kegiatan lembaga swadaya masyarakat untuk menggencarkan kegiatan cinta bumi akhirnya menurut pandangan saya hanya sebatas teori saja. Perusahaan besar diprotes! Mereka mengeksploitasi bumi sehingga bumi semakin panas! Apa iya? Sekarang ini permintaan kertas, tisu, minuman dan makanan dalam kemasan semakin tinggi. Bila perusahaan produsen barang-barang tersebut berhenti, berapa banyak manusia yang protes? Berapa banyak orang yang kehilangan pekerjaan? LSM berfokus pada memecahkan jerawat bumi tetapi tidak menyelesaikannya sampai tuntas, masalah pokok di masyarakat adalah ketidaksadaran dan sikap abai terhadap bumi. “Buang aja sampahnya di bawah,” sering kan kita melihat orang membuang sampah tisu, plastik, secara sembarangan? Terutama di tempat wisata. Semua orang berbondong-bondong datang, menikmati camilan, kemasannya ditinggal untuk dibersihkan petugas kebersihan. Sikap cuek seperti ini membuat bumi lama-lama cuek juga dengan kita. Bagaimana tidak? Penyu yang seharusnya memakan ikan kecil jadi makan sampah plastik. Ikan kecil yang seharusnya makan binatang laut kecil malah makan limbah pabrik yang katanya “Sudah aman dikonsumsi ikan. Kalau ikannya mati, artinya sudah tidak aman.” Bayangkan setelah itu ikannya dimakan oleh anak kita. Tidak heran rasanya akhir-akhir ini banyak penyakit yang menjangkiti generasi muda. Akar dari pemanasan global ini bukanlah perusahaan besar, tetapi kamu, saya, kita semua. Pola konsumsi kita yang tamak dan berlebihan membuat perusahaan berlomba memenuhi kebutuhan kita dengan inovasi yang luar biasa. Bayangkan, sekarang kita tidak perlu repot menggoreng, sudah ada air fryer. Tisu ada yang khusus untuk muka bahkan hypoallergic. Coba tanyakan pada diri kita, seberapa banyak konsumsi kertas yang telah kita habiskan? Misalnya untuk membuat skripsi atau laporan. Berapa banyak re-print yang dilakukan karena salah ketik? Salah ukuran? Salah pengejaan? “Ah, lebay loe! Sekarang kan jaman digital keleus!” Benar, semua sekarang serba digitalisasi, tapi berarti semua butuh listrik, bukan? Saat kamu membeli alat digital, terutama yang murah-murah, menurutmu berapa banyak plastik yang digunakan? Selain menghabiskan energi listrik, digitalisasi juga menambah polusi dengan peleburan plastik, besi, dan baterai. Solusinya? Gunakan secukupnya. Tidak perlu tamak mengumpulkan benda-benda yang didaulat sebagai ‘motivasi’. Entah motivasi kurus, motivasi mengerjakan tugas lebih serius, atau motivasi mendapatkan uang lebih banyak jika memang tidak dibutuhkan. Mari kita lihat kembali apakah konsumsi yang kita lakukan sebenarnya kebutuhan atau ‘lapar mata’? Apakah kita benar-benar membutuhkan lebih dari dua ponsel? Apakah kita benar-benar kebutuhan untuk makan di tempat yang lagi hits dan membuat masakan rumah terbengkalai? Apakah kita benar-benar membutuhkan sepatu lebih dari dua pasang? Jika diteliti lebih jauh, pola konsumerisme ini bermuara pada satu sumber, yakni prestise. Robert Quillen (1921) mengatakan “Using money you haven’t earned to buy things you don’t need to impress people you don’t like.” Apakah pujian dan popularitas di media sosial lebih bermakna daripada kelangsungan hidup generasi selanjutnya? -R
1 Comment
|
Archives
October 2017
Categories |