Awalnya gue ngerasa tokoh Ma Jin Joo ini kelewatan. Yah, kalau lu nuntut cerai dari pemberi nafkah lu sementara lu ga ada sumber pemasukan, lu mau ngapain? Sebagian dari diri gue mau bilang, "Makan tuh harga diri," tapi di tengah geregetan itu, gue penasaran sama kelanjutannya. Yah, memang si laki pun terlalu... apa ya? Mementingkan diri? Intinya setelah perceraian, lewat cincin ajaib, mereka kembali ke masa-masa kuliah mereka, 1999.
Walaupun mereka sangat menikmati masa muda dan terpikir untuk menikmati masa muda sepenuhnya, ternyata jiwa 'ahjussi' dan 'ahjumma' mereka lebih kental sehingga mereka yang awalnya bertekad untuk mengabaikan satu sama lain, akhirnya malah semakin mendekat. Choi Ban Do yang awalnya cuek banget sama bininya dan mau ngejar cinta pertamanya, akhirnya malah jatuh cinta lagi ke Ma Jin Joo. Sedangkan tokoh Ma Jin Joo yang awalnya sikapnya princess sekali, akhirnya bisa bersikap keibuan dan lebih menghargai ibunya yang telah meninggal di tahun 2009. Hook yang paling kena untuk gue adalah bagaimana Ma Jin Joo bersikap setelah bertemu ibunya. Sumpah, rasanya ini drama paling cepat yang gue tonton, cuma tiga hari tanpa mencuri waktu kerja. Lu kebayang lah selama tiga hari ini gue tidur jam berapa. Back to the love story, setelah melalui beberapa kejadian, Choi Ban Do menyadari cinta pada istrinya lebih besar daripada perasaan mendambanya pada cinta pertama, sementara itu Ma Jin Joo mulai mempelajari bahwa suaminya bekerja keras demi dirinya dan bagaimana Choi Ban Do paling memahami dirinya tanpa perlu banyak bertanya. Awalnya pasangan ini hanya memikirkan anak mereka, lama kelamaan mereka mulai sadar akar dari permasalahan mereka adalah perasaan yang tidak terungkapkan. Kekecewaan, ketakutan, keinginan untuk membahagiakan, akhirnya malah menyakiti satu sama lain. Hebatnya, Choi Ban Do sempat terpikir untuk membiarkan Ma Jin Joo untuk tetap di masa muda untuk menikmati waktu dengan sang ibu walaupun ada kemungkinan anak mereka, Seo Jin, tidak akan terlahir. Ma Jin Joo sendiri awalnya mau memenuhi permintaan Choi Ban Do, tetapi ibu Ma Jin Joo memintanya untuk kembali ke anaknya, "Karena anak bisa tanpa orang tua, tetapi orang tua tidak bisa tanpa anak mereka." ISN'T THAT SWEET? I suddenly felt urge to hug my mom. <3 yah, walaupun in real life kecil kemungkinan nyokab gue bisa diromantisin gitu. (spoiler end) Kalau lu tertarik dengan drama komedi keluarga yang ringan, sederhana, tapi bermakna, this drama is highly recommended. Lu akan dibawa dalam roller-coaster emosi yang dibawakan dengan apik oleh Jang Nara dan Son Ho Jun. Rangkaian ceritanya pun nggak ada bagian membosankannya, yang ada bikin penasaran dan ketawa geli ngeliatnya. Warmest hug, -R
0 Comments
Diangkat dari biografi pahlawan emansipasi wanita, film Kartini tayang di bioskop sejak 21 April lalu. Bagi yang belum nonton dan nggak mau spoiler, cukup baca sampai sini yak.
Singkat aja, menurut gue ini film nggak cuma modal nama besar aktrisnya seperti Christine Hakim, Djenar Maesa Ayu, Dian Sastro, Reza Rahardian, dll. Emang kalo film dibintangi sama nama-nama besar tadi pasti gue tonton sih karena akting beliau-beliau ngebuat kita ikut merasakan apa yang mereka rasakan. Cerita yang sudah kita tahu sejak kecil, ditampilkan dengan gaya yang berbeda. Kita bisa melihat sebenarnya apa yang dialami oleh Mbah Kartini sampai beliau mendorong diri untuk emansipasi. Satu hal yang bikin gue pusing adalah nggak ada perbedaan antara scene flashback dan yang terjadi sekarang. Biasanya kalau flashback seenggaknya ada beda tone warna atau musik, tapi dengan efek fade kita nebak-nebak sendiri ini mustinya di bagian mana. Tapi ini menurut gue, gimana menurut lu? Jakarta, 23 April 2017 - Rati When A Snail Falls in Love (如果蜗牛有爱情), sebuah novel karangan Ding Mo yang diangkat menjadi sebuah film serial berdurasi 30 menit. Yep, karena durasinya pendek-pendek, bawaannya jadi ketagihan. Berkisah tentang seorang mahasiswi psikologi yang magang di kepolisian bagian kriminal berat bernama Xu Xu. Ceritanya Xu adalah seorang perempuan pendiam dan suka menggambar, keahlian deduksinya setara deh sama Sherlock Holmes, bedanya Holmes bawel banget sementara Xu kalem binti diem, kalo ditanya aja ngomongnya panjang. Sementara itu pimpinan tim yang dimasukin Xu adalah seorang lulusan yang luar biasa; ganteng, pinter, bertanggung jawab, bisa bela diri, keturunan orang kaya, singkat kata pujaan banget, tapi sinis dan cenderung judes (sama Xu aja sih) bernama Ji Bai (gw ga bercanda, emang namanya gini). Ji awalnya nolak sama keberadaan Xu karena dianggap cewek mungil ini lemah banget secara fisik yang nantinya akan mengganggu proses penyelidikan. Tapi cewek ini pinter banget dan pola pikirnya sebenarnya bisa menyamai pola pikir Ji. Melihat potensi Xu, Ji ngasih deadline untuk Xu melatih fisik baru akan diakui sebagai murid (dibimbing langsung gitu). Tapi entah gimana, Ji malah melatih Xu secara intensif. Percintaannya lambat banget sementara kasusnya escalated quickly, karena si cewek tipe yang menganalisis perasaannya sendiri sementara kasus terus berkembang, jadi Xu ibaratkan siput/keong yang lambat. Seiring kasus mulai terselesaikan, perasaan mereka berdua pun semakin intens dan berakhir bahagia. Agak berbeda dari filmnya, kasus yang di film kesannya jadi terjalin dan meluas, sebenarnya dalam novel ada tiga kasus yang mereka pecahkan bersama. Di film mungkin nggak terlalu terasa koneksi keduanya, kesannya kayak Ji ngerasa bertanggung jawab penuh sama Xu yang lemah, tapi di novel, digambarkan bagaimana mereka berdua bisa berkomunikasi tanpa perlu menggunakan kata-kata karena mereka berdua tipe pemerhati dan analis, jadi seakan-akan mereka bisa telepati. Di novel juga dijelaskan tentang Xu yang sebenarnya keturunan profesor sehingga bisa dipahami kenapa sifat Xu bisa agak janggal. Kejanggalan Xu ini yang membuat Ji jadi merasa tertarik, belum lagi keduanya cenderung memiliki logika yang serupa. Perbedaan lainnya adalah di novel kentara banget yang suka duluan sebetulnya Ji, tapi karena terbiasa jadi guru yang galak, jadi bawaannya jutek banget ke Xu sementara ke orang lain santai dan memesona. Baik film maupun novel menurut gue jalinan ceritanya apik dan nggak ngebosenin, try it if you have time, Mate! Jakarta, 17 Maret 2017 -R
Ok, fokus. Kalo kamu belum pernah denger kisah Hong Gil Dong, anggap aja Robin Hood yang berusaha menghapus perbudakan atau sistem kasta karena rentetan ketidakadilan yang dia rasakan sepanjang hidup. Gil Dong dikisahkan adalah putra seorang budak yang memiliki kekuatan luar biasa. Tokoh Gil Dong pas kecil sumpah lucu banget, bahkan pas mewek imut sekali. Dikisahkan kalo bapaknya Gil Dong, Ah Mo Gae, semakin berniat mengubah nasib setelah tahu anaknya punya super power. Kalo anak super power itu berkembang di kalangan budak, akan langsung disingkirkan karena dianggap sebagai ancaman. Ah Mo Gae mulai mengembangkan koneksi dan berteman dengan berandal. Hmm.. Bisa dibilang sih mafia kecil. Lalu pake strategi untuk keluar dari cengkraman bangsawannya. Huoh, di sini gw jadi paham kenapa Karl Marx begitu vokal akan perjuangan kaum proletar karena emang perlakuan hierarki kasta atas yang jumlahnya sedikit itu keterlaluan ke kasta bawah yang jumlahnya banyak. Betul kata Marx, kenapa nggak berontak? Sama-sama manusia, dengan jumlah yang lebih banyak, berjuanglah untuk hidup layaknya manusia. Di sini menarik karena drama ini mengupas aspek sejarah dengan jelas dan gamblang. Ketidakadilan antara bangsawan versus budak sangat eksplisit. Kemauan untuk memberontak dari sistem menghasilkan pesimisme bahkan dari grup Ah Mo Gae yang setia sama pemimpinnya. Pengikut Ah Mo Gae cuma mau hidup nyaman, sementara Gil Dong mau merombak tatanan negara.
Jakarta, 15 Maret 2017 - Rati |
Archives
October 2017
Categories |