Pertemuan dengan Mas Agus Noor mengguncang pakem dalam otak gue. Lucu gimana satu kalimat sederhana bisa meluluhkan doktrin 26 tahun. Hmm.. Menarik. "Apa motifmu menulis?" that simple yet that deep. Butuh waktu cukup lama buat gue untuk berpikir, kenapa gue mau menulis? Awalnya jawaban gue diplomatis, "Mau menyampaikan sesuatu." Si Mas tampak nggak puas, dia menggiring sampai ke jawaban yang dia mau, "Beda kalau kamu mau jadi penulis yang baik."
Kuncinya latihan. Kalau mau jadi penulis yang baik, harus latihan. Coba deskripsikan hal-hal yang sederhana. Latih dan terus berlatih. Rasanya ada sesuatu yang terlepas dari diri gue dan melesat bebas. Sesuatu yang membuat gue kalem dan mau menyatakan kelemahan diri. Gue melepaskan diri dari paradigma, juga melepaskan diri dari belenggu yang gue ciptakan sendiri. Gue merasa di sinilah tempat gue berada, inilah tempat yang gue impikan selama ini. Ada. Nyata. Tapi gue tolak mati-matian karena bersebrangan dengan paradigma yang gue miliki selama ini. Sekarang gue lebih lentur dalam menanggapi isu diri dan sosial. Gue aneh, ada yang lebih aneh. Gue jadi janggal karena gue kukuh bertahan bahwa gue harus bertahan di arena yang salah. Maka jiwa gue menggeliat, memohon untuk dilepaskan. Itulah alasan gue nggak puas dengan pencapaian gue. Rasanya kosong, tapi kini gue tahu cara mengisinya. Jakarta, 29.07.2018
1 Comment
Awalnya gue ngerasa tokoh Ma Jin Joo ini kelewatan. Yah, kalau lu nuntut cerai dari pemberi nafkah lu sementara lu ga ada sumber pemasukan, lu mau ngapain? Sebagian dari diri gue mau bilang, "Makan tuh harga diri," tapi di tengah geregetan itu, gue penasaran sama kelanjutannya. Yah, memang si laki pun terlalu... apa ya? Mementingkan diri? Intinya setelah perceraian, lewat cincin ajaib, mereka kembali ke masa-masa kuliah mereka, 1999.
Walaupun mereka sangat menikmati masa muda dan terpikir untuk menikmati masa muda sepenuhnya, ternyata jiwa 'ahjussi' dan 'ahjumma' mereka lebih kental sehingga mereka yang awalnya bertekad untuk mengabaikan satu sama lain, akhirnya malah semakin mendekat. Choi Ban Do yang awalnya cuek banget sama bininya dan mau ngejar cinta pertamanya, akhirnya malah jatuh cinta lagi ke Ma Jin Joo. Sedangkan tokoh Ma Jin Joo yang awalnya sikapnya princess sekali, akhirnya bisa bersikap keibuan dan lebih menghargai ibunya yang telah meninggal di tahun 2009. Hook yang paling kena untuk gue adalah bagaimana Ma Jin Joo bersikap setelah bertemu ibunya. Sumpah, rasanya ini drama paling cepat yang gue tonton, cuma tiga hari tanpa mencuri waktu kerja. Lu kebayang lah selama tiga hari ini gue tidur jam berapa. Back to the love story, setelah melalui beberapa kejadian, Choi Ban Do menyadari cinta pada istrinya lebih besar daripada perasaan mendambanya pada cinta pertama, sementara itu Ma Jin Joo mulai mempelajari bahwa suaminya bekerja keras demi dirinya dan bagaimana Choi Ban Do paling memahami dirinya tanpa perlu banyak bertanya. Awalnya pasangan ini hanya memikirkan anak mereka, lama kelamaan mereka mulai sadar akar dari permasalahan mereka adalah perasaan yang tidak terungkapkan. Kekecewaan, ketakutan, keinginan untuk membahagiakan, akhirnya malah menyakiti satu sama lain. Hebatnya, Choi Ban Do sempat terpikir untuk membiarkan Ma Jin Joo untuk tetap di masa muda untuk menikmati waktu dengan sang ibu walaupun ada kemungkinan anak mereka, Seo Jin, tidak akan terlahir. Ma Jin Joo sendiri awalnya mau memenuhi permintaan Choi Ban Do, tetapi ibu Ma Jin Joo memintanya untuk kembali ke anaknya, "Karena anak bisa tanpa orang tua, tetapi orang tua tidak bisa tanpa anak mereka." ISN'T THAT SWEET? I suddenly felt urge to hug my mom. <3 yah, walaupun in real life kecil kemungkinan nyokab gue bisa diromantisin gitu. (spoiler end) Kalau lu tertarik dengan drama komedi keluarga yang ringan, sederhana, tapi bermakna, this drama is highly recommended. Lu akan dibawa dalam roller-coaster emosi yang dibawakan dengan apik oleh Jang Nara dan Son Ho Jun. Rangkaian ceritanya pun nggak ada bagian membosankannya, yang ada bikin penasaran dan ketawa geli ngeliatnya. Warmest hug, -R Panas! Gerah! Itulah umumnya apa yang masyarakat Jakarta akhir-akhir ini. Fenomena ‘gerah’ ini tidak hanya dialami oleh Jakarta, bahkan Indonesia saja. Menilik bagaimana kita menggunakan sumber daya di dunia ini, rasanya tidak heran jika bumi mulai demam. Kita mengeruk hasil bumi dengan tamak. Sisanya? Dibiarkan menjadi liang gua yang tidak bisa ditinggali makhluk hidup. Kegiatan lembaga swadaya masyarakat untuk menggencarkan kegiatan cinta bumi akhirnya menurut pandangan saya hanya sebatas teori saja. Perusahaan besar diprotes! Mereka mengeksploitasi bumi sehingga bumi semakin panas! Apa iya? Sekarang ini permintaan kertas, tisu, minuman dan makanan dalam kemasan semakin tinggi. Bila perusahaan produsen barang-barang tersebut berhenti, berapa banyak manusia yang protes? Berapa banyak orang yang kehilangan pekerjaan? LSM berfokus pada memecahkan jerawat bumi tetapi tidak menyelesaikannya sampai tuntas, masalah pokok di masyarakat adalah ketidaksadaran dan sikap abai terhadap bumi. “Buang aja sampahnya di bawah,” sering kan kita melihat orang membuang sampah tisu, plastik, secara sembarangan? Terutama di tempat wisata. Semua orang berbondong-bondong datang, menikmati camilan, kemasannya ditinggal untuk dibersihkan petugas kebersihan. Sikap cuek seperti ini membuat bumi lama-lama cuek juga dengan kita. Bagaimana tidak? Penyu yang seharusnya memakan ikan kecil jadi makan sampah plastik. Ikan kecil yang seharusnya makan binatang laut kecil malah makan limbah pabrik yang katanya “Sudah aman dikonsumsi ikan. Kalau ikannya mati, artinya sudah tidak aman.” Bayangkan setelah itu ikannya dimakan oleh anak kita. Tidak heran rasanya akhir-akhir ini banyak penyakit yang menjangkiti generasi muda. Akar dari pemanasan global ini bukanlah perusahaan besar, tetapi kamu, saya, kita semua. Pola konsumsi kita yang tamak dan berlebihan membuat perusahaan berlomba memenuhi kebutuhan kita dengan inovasi yang luar biasa. Bayangkan, sekarang kita tidak perlu repot menggoreng, sudah ada air fryer. Tisu ada yang khusus untuk muka bahkan hypoallergic. Coba tanyakan pada diri kita, seberapa banyak konsumsi kertas yang telah kita habiskan? Misalnya untuk membuat skripsi atau laporan. Berapa banyak re-print yang dilakukan karena salah ketik? Salah ukuran? Salah pengejaan? “Ah, lebay loe! Sekarang kan jaman digital keleus!” Benar, semua sekarang serba digitalisasi, tapi berarti semua butuh listrik, bukan? Saat kamu membeli alat digital, terutama yang murah-murah, menurutmu berapa banyak plastik yang digunakan? Selain menghabiskan energi listrik, digitalisasi juga menambah polusi dengan peleburan plastik, besi, dan baterai. Solusinya? Gunakan secukupnya. Tidak perlu tamak mengumpulkan benda-benda yang didaulat sebagai ‘motivasi’. Entah motivasi kurus, motivasi mengerjakan tugas lebih serius, atau motivasi mendapatkan uang lebih banyak jika memang tidak dibutuhkan. Mari kita lihat kembali apakah konsumsi yang kita lakukan sebenarnya kebutuhan atau ‘lapar mata’? Apakah kita benar-benar membutuhkan lebih dari dua ponsel? Apakah kita benar-benar kebutuhan untuk makan di tempat yang lagi hits dan membuat masakan rumah terbengkalai? Apakah kita benar-benar membutuhkan sepatu lebih dari dua pasang? Jika diteliti lebih jauh, pola konsumerisme ini bermuara pada satu sumber, yakni prestise. Robert Quillen (1921) mengatakan “Using money you haven’t earned to buy things you don’t need to impress people you don’t like.” Apakah pujian dan popularitas di media sosial lebih bermakna daripada kelangsungan hidup generasi selanjutnya? -R
Bengong juga melihat fenomena dosen yang demikian menjadi panutan di dalam kelas ternyata sungguh-sungguh bagian dari agen pemecah bangsa. Nama beliau demikian harum di kalangan pegiat komunikasi politik dan pandangan beliau sungguh kritis, awalnya saya selalu berpikir demikian kompleks bahwa sang dosen adalah tokoh yang disewa oleh oposisi untuk melakukan kampanye cuci otak agar membela kubu sebelah. Apa daya, ternyata itu hanyalah khayalan saya saja. Memang di kelas beliau secara terang-terangan mencibir kami yang dulu memihak dalam pemilihan DKI 1 lalu RI 1. Selama perkuliahan debat seru tentang kelebihan paslon membuat saya tergelitik, bagaimana bisa seorang dosen begitu memihak bahkan mengabaikan portfolio seorang negarawan yang belang karena intoleransi?
Bagaikan ahli filsafat yang mengkritisi kinerja pemerintah, saya merasa kagum akan kehebatan beliau dalam menggali kelemahan sistem negara sekarang dan keahlian diplomatik RI 1. Segala hal dikupas dalam sisi negatif sehingga saya merasa adanya cacat logika karena subjektivitas. Tetapi apalah saya, hanya silent reader setaraf sarjana strata satu sementara beliau adalah master komunikasi persuasif. Mungkin ini salah satu guna mata kuliah yang dulu begitu menyebalkan untuk saya dimana kami dipacu untuk berpikir kreatif dan kritis. Saya terlalu heboh menggali dari segi out of the box sampai lupa akan faktor logika yang membuat saya beberapa kali berdebat dengan dosen creative and critical thinking tersebut. Menurut saya benar, tetapi saya diberi label “sesat logika” oleh sang dosen. Sekarang saya baru memahami bahwa ketajaman dalam mengupas sesuatu tanpa logika dan perasaan, rasanya saya bisa disebut sebagai orang yang jago ngeles saja. Berulang kali saya berpikir, andaikan saja pesan yang disampaikan oleh dosen praktisi tersebut menyampaikan fallacies disampaikan dengan lebih halus, bukankah semua mentee dan mahasiswa/i beliau bisa dicuci otak menjadi agen perusak kesatuan bangsa dengan membawa-bawa isu agama dan ras? Jika keberpihakan beliau tidak terlalu kentara dengan menjelek-jelekkan salah satu pihak, bukankah akan lebih berbahaya lagi bagi muridnya? Sebagian dari diri saya bersyukur beliau adalah seorang dosen, bukan guru TK yang bertanggung jawab akan karakter masa depan bangsa. Mahasiswa-mahasiswi sudah lebih berpikiran terbuka sehingga mampu menyaring informasi mana yang logis dan mana yang memuat kepentingan. Saya hanya mendoakan agar beliau selalu sehat dan bahagia lahir batin agar nyinyirnya bisa dikurang-kurangin lah :) #sekalisekali -R Diangkat dari biografi pahlawan emansipasi wanita, film Kartini tayang di bioskop sejak 21 April lalu. Bagi yang belum nonton dan nggak mau spoiler, cukup baca sampai sini yak.
Singkat aja, menurut gue ini film nggak cuma modal nama besar aktrisnya seperti Christine Hakim, Djenar Maesa Ayu, Dian Sastro, Reza Rahardian, dll. Emang kalo film dibintangi sama nama-nama besar tadi pasti gue tonton sih karena akting beliau-beliau ngebuat kita ikut merasakan apa yang mereka rasakan. Cerita yang sudah kita tahu sejak kecil, ditampilkan dengan gaya yang berbeda. Kita bisa melihat sebenarnya apa yang dialami oleh Mbah Kartini sampai beliau mendorong diri untuk emansipasi. Satu hal yang bikin gue pusing adalah nggak ada perbedaan antara scene flashback dan yang terjadi sekarang. Biasanya kalau flashback seenggaknya ada beda tone warna atau musik, tapi dengan efek fade kita nebak-nebak sendiri ini mustinya di bagian mana. Tapi ini menurut gue, gimana menurut lu? Jakarta, 23 April 2017 - Rati When A Snail Falls in Love (如果蜗牛有爱情), sebuah novel karangan Ding Mo yang diangkat menjadi sebuah film serial berdurasi 30 menit. Yep, karena durasinya pendek-pendek, bawaannya jadi ketagihan. Berkisah tentang seorang mahasiswi psikologi yang magang di kepolisian bagian kriminal berat bernama Xu Xu. Ceritanya Xu adalah seorang perempuan pendiam dan suka menggambar, keahlian deduksinya setara deh sama Sherlock Holmes, bedanya Holmes bawel banget sementara Xu kalem binti diem, kalo ditanya aja ngomongnya panjang. Sementara itu pimpinan tim yang dimasukin Xu adalah seorang lulusan yang luar biasa; ganteng, pinter, bertanggung jawab, bisa bela diri, keturunan orang kaya, singkat kata pujaan banget, tapi sinis dan cenderung judes (sama Xu aja sih) bernama Ji Bai (gw ga bercanda, emang namanya gini). Ji awalnya nolak sama keberadaan Xu karena dianggap cewek mungil ini lemah banget secara fisik yang nantinya akan mengganggu proses penyelidikan. Tapi cewek ini pinter banget dan pola pikirnya sebenarnya bisa menyamai pola pikir Ji. Melihat potensi Xu, Ji ngasih deadline untuk Xu melatih fisik baru akan diakui sebagai murid (dibimbing langsung gitu). Tapi entah gimana, Ji malah melatih Xu secara intensif. Percintaannya lambat banget sementara kasusnya escalated quickly, karena si cewek tipe yang menganalisis perasaannya sendiri sementara kasus terus berkembang, jadi Xu ibaratkan siput/keong yang lambat. Seiring kasus mulai terselesaikan, perasaan mereka berdua pun semakin intens dan berakhir bahagia. Agak berbeda dari filmnya, kasus yang di film kesannya jadi terjalin dan meluas, sebenarnya dalam novel ada tiga kasus yang mereka pecahkan bersama. Di film mungkin nggak terlalu terasa koneksi keduanya, kesannya kayak Ji ngerasa bertanggung jawab penuh sama Xu yang lemah, tapi di novel, digambarkan bagaimana mereka berdua bisa berkomunikasi tanpa perlu menggunakan kata-kata karena mereka berdua tipe pemerhati dan analis, jadi seakan-akan mereka bisa telepati. Di novel juga dijelaskan tentang Xu yang sebenarnya keturunan profesor sehingga bisa dipahami kenapa sifat Xu bisa agak janggal. Kejanggalan Xu ini yang membuat Ji jadi merasa tertarik, belum lagi keduanya cenderung memiliki logika yang serupa. Perbedaan lainnya adalah di novel kentara banget yang suka duluan sebetulnya Ji, tapi karena terbiasa jadi guru yang galak, jadi bawaannya jutek banget ke Xu sementara ke orang lain santai dan memesona. Baik film maupun novel menurut gue jalinan ceritanya apik dan nggak ngebosenin, try it if you have time, Mate! Jakarta, 17 Maret 2017 -R
Ok, fokus. Kalo kamu belum pernah denger kisah Hong Gil Dong, anggap aja Robin Hood yang berusaha menghapus perbudakan atau sistem kasta karena rentetan ketidakadilan yang dia rasakan sepanjang hidup. Gil Dong dikisahkan adalah putra seorang budak yang memiliki kekuatan luar biasa. Tokoh Gil Dong pas kecil sumpah lucu banget, bahkan pas mewek imut sekali. Dikisahkan kalo bapaknya Gil Dong, Ah Mo Gae, semakin berniat mengubah nasib setelah tahu anaknya punya super power. Kalo anak super power itu berkembang di kalangan budak, akan langsung disingkirkan karena dianggap sebagai ancaman. Ah Mo Gae mulai mengembangkan koneksi dan berteman dengan berandal. Hmm.. Bisa dibilang sih mafia kecil. Lalu pake strategi untuk keluar dari cengkraman bangsawannya. Huoh, di sini gw jadi paham kenapa Karl Marx begitu vokal akan perjuangan kaum proletar karena emang perlakuan hierarki kasta atas yang jumlahnya sedikit itu keterlaluan ke kasta bawah yang jumlahnya banyak. Betul kata Marx, kenapa nggak berontak? Sama-sama manusia, dengan jumlah yang lebih banyak, berjuanglah untuk hidup layaknya manusia. Di sini menarik karena drama ini mengupas aspek sejarah dengan jelas dan gamblang. Ketidakadilan antara bangsawan versus budak sangat eksplisit. Kemauan untuk memberontak dari sistem menghasilkan pesimisme bahkan dari grup Ah Mo Gae yang setia sama pemimpinnya. Pengikut Ah Mo Gae cuma mau hidup nyaman, sementara Gil Dong mau merombak tatanan negara.
Jakarta, 15 Maret 2017 - Rati Indonesia sebenarnya sudah mempunyai semua landasan budaya yang diperlukan untuk membangun negara republik, namun karena diabaikan, maka semenjak kemerdekaan selalu terjerat dalam kepentingan umum yang dipertentangkan dengan kepentingan golongan atau pribadi. (Sutanto, 2009: 70) Menjelang pemilihan kepala daerah, rasanya membuat beberapa orang melupakan hari ini Valentine ya. Gegap gempita pemilihan kepala daerah Jakarta begitu besar gemanya sampai menaungi beberapa isu yang biasanya dianggap penting, menjadi luntur.
Menarik memerhatikan bagaimana tulisan di tahun 2009 masih relevan di tahun 2017. Bapak Jusuf Sutanto mungkin nggak ngeh kalo nanti Jakarta akan diguncang oleh permasalahan SARA. Pengkotak-kotakan 'kami' sehingga tidak lagi menjadi bagian dari 'kita'. Dulu di mata kuliah Komunikasi Antar Budaya, dosen saya membahas keberagaman bahasa atau sebutan menandakan seberapa pentingnya hal tersebut dalam suatu budaya. Misalnya, kita membeda-bedakan sebutan 'nasi', 'gabah', dan 'ketan' sementara di Eropa semuanya dipukul rata sebagai 'rice' membuktikan di Eropa nasi bukan menjadi makanan pokok seperti di Indonesia. Mirip dengan keadaan kita sekarang. Semangat 'kita' mulai digempur oleh kepentingan 'kami'. "Kalau kamu nggak milih dia, kamu bukan bagian dari kelompok kami!" Saya kagum bagaimana kesadaran politik mulai menggerakkan massa melakukan aksi damai, padahal dulunya kata-kata politik membuat orang berbisik-bisik atau menggeleng ketakutan sambil berkata, "Udahlah, ngapain ngurusin gituan." Kesadaran itu pula yang membuat semangat primordial kembali menyeruak, padahal sejarah sudah membuktikan jika semua orang memiliki kesamaan visi, semustahil apa pun keadaan akan menjadi kondisi yang 'mungkin'. Contoh yang paling mudah adalah kemerdekaan negara kita. Saat semua bergerak dalam harmoni, tidak menonjolkan perbedaan, tetapi menyadari bahwa masing-masing individu adalah bagian dari dunia, barulah semua orang bisa bersama-sama berangkat menuju kemakmuran, kesejahteraan, dan kedamaian. Jakarta, 14 Februari 2017 - Rati |
Archives
October 2017
Categories |